Balita mengalami siklus pertumbuhan dan
perkembangan yang membutuhkan zat gizi yang
lebih besar dibanding dengan kelompok umur
yang lain, sehingga balita lebih rentan mengalami
masalah gizi (Notoatmojo, 2003). Penyebab
kondisi tersebut antara lain karena pada saat fase
balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat pesat, disamping itu balita juga biasanya
memiliki gangguan nafsu makan, serta mendapat
asupan zat gizi yang tidak sesuai kuantitas atau
kualitasnya (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2006).
Gizi kurang (underweight) dan gizi buruk
dapat menyebabkan gangguan jasmani dan
kesehatan pada balita (Yanti, 2015). Kejadian
gizi buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh
anak menurun dan anak juga akan lebih mudah
terkena penyakit infeksi. Gizi buruk yang terjadi
pada anak apabila tidak ditangani dengan baik dan
cepat karena dapat mempengaruhi kualitas generasi
selanjutnya (Yanti, 2015)
Anak yang mengalami Kurang Energi
Protein (KEP) atau gizi buruk biasanya menderita
kekurangan Vitamin A sebagai akibat asupan zat
gizi yang kurang, termasuk salah satunya yaitu
vitamin A. Penelitian yang dilakukan oleh Murage,
et al. tahun 2008 di Kenya menunjukkan anak
yang tidak diberi Vitamin A 75% lebih berisiko
menderita underweight dibanding yang diberikan
Vitamin A (Murage, et al., 2012)
Upaya penurunan masalah
gizi utamanya pengurangan balita yang mengalami
underweight bergantung pada banyak faktor,
diantaranya yaitu dukungan sumber daya yang
ada dan juga peningkatan kualitas manajemen baik
teknis maupun operasional (Kalsum dan Jahari,
2015).
Balita yang memiliki status gizi yang baik
cenderung memiliki status kesehatan yang baik
juga. Hal tersebut dikarenakan terdapat hubungan
antara status gizi dengan penyakit infeksi pada
balita, malnutrisi yang terjadi pada balita dapat
meningkatkan morbiditas dan kerentanan balita
terhadap penyakit infeksi begitupun terjadi
sebaliknya, apabila balita mengalami infeksi maka
balita tersebut akan lebih rentan menderita masalah
gizi (Rodriguez, et al., 2011).
Beberapa contoh hubungan yang terjadi pada gizi kurang
1. Hubungan Frekuensi Penimbangan dengan
Kejadian Underweight pada Balita
Keluarga yang tidak aktif
mengikuti kegiatan posyandu berisiko 6,857 kali
mengalami kurang energi protein dibanding dengan
keluarga yang aktif mengikuti kegiatan posyandu. Kegiatan penimbangan biasanya dilakukan
saat kegiatan posyandu rutin tiap bulan. Menurut
Maulana (2013) ibu yang aktif ke posyandu dapat
mencegah terjadinya peningkatan jumlah balita
BGM melalui upaya mendeteksi secara dini status
gizi balita setiap bulannya oleh petugas kesehatan
bersama kader posyandu dalam memantau status
gizi anak melalui penimbangan dan buku Kartu
Menuju Sehat (KMS) balita.
Penimbangan balita yang dilakukan rutin
di posyandu yang disertai dengan konseling dan
pemberian makanan tambahan pada balita setiap
bulannya dapat menurunkan angka kejadian gizi
buruk dikarenakan status gizi anak yang ada
pada KMS dapat selalu dipantau dan apabila
ada permasalahan dapat langsung terselesaikan
(Octaviani, et al., 2009).
2. Hubungan Penggunaan Garam Beryodium
dengan Kejadian Underweight pada Balita
Penggunaan garam beryodium selama ini
lebih sering dikaitkan dengan kejadian stunting.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Devi
(2012) menunjukkan bahwa penggunaan garam
beryodium dapat mempengaruhi status gizi anak
(TB/U) karena yodium adalah salah satu zat gizi
yang mempunyai peran dalam pertumbuhan.
Senyawa T3 adalah senyawa yang berfungsi untuk
mengontrol laju metabolisme basal sel. Yodium
sangat diperlukan untuk membantu produksi
senyawa T3 pada tubuh. Apabila kadar senyawa
T3 pada tubuh mengalami kekurangan akibat
kebutuhan yodium yang tidak terpenuhi, maka laju
metabolisme basal sel juga akan menjadi rendah,
hal tersebut dapat mengakibatkan proses tumbuh
kembang yang terjadi di dalam tubuh manusia
menjadi terganggu dan terhambat.
Anak yang mengalami kekurangan yodium
bisa juga mengalami retardasi pertumbuhan
sehingga anak tersebut kerdil, hal tersebut terjadi
karena pada anak yang kekurangan yodium
akan terjadi penurunan laju metabolisme, retensi
nitrogen rendah, dan beberapa fungsi beberapa
sistem organ akan lebih rendah. Selain itu, hal
tersebut juga dapat menyebabkan jaringan tulang
tidak matang karena maturasi epifase terlambat
sehingga pertumbuhan tulang panjang pun akan
terhambat (Dyah, dkk., 2010).
3. Hubungan Pemberian Vitamin A Warna
Biru Sejak Umur 6 Bulan dengan Kejadian
Underweight pada Balita
untuk
terhindar dari risiko underweight daripada balita
yang tidak mendapatkan Vitamin A warna biru
sejak umur 6 bulan.
Hasil uji ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan di India menunjukkan bahwa
anak yang asupan vitamin A nya tidak adekuat
memiliki prevalensi stunting, underweight, dan
wasting yang lebih tinggi dibanding anak yang
memperoleh vitamin A secara adekuat. Defi siensi
vitamin A dapat meningkatkan risiko mortalitas,
morbiditas, dan penyakit infeksi yang lebih tinggi
pada anak (Semba, dkk., 2010). Kurangnya asupan
vitamin A dapat dikaitkan dengan terhambatnya
pertumbuhan dikarenakan kurangnya vitamin A
dapat mengurangi sekresi terhadap serum IGF-1
yang bertanggung jawab untuk sekresi hormon
pertumbuhan (Mikhail, dkk., 2013).
Status vitamin A anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, tidak hanya dari asupan vitamin
A. Faktor lain yang memengaruhi status vitamin
A diantaranya adalah cadangan vitamin A didalam
tubuh yang disimpang di hati (Almatsier, et al.,
2011), sedangkan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Karolina, dkk. (2012)
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara pemberian kapsul vitamin
A kepada balita dengan status gizi berdasarkan
indikator BB/U, TB/U dan BB/TB. Suplementasi
Vitamin A diberikan kepada seluruh anak balita
umur 6–59 bulan secara serentak. Untuk bayi umur 6–11 bulan diberikan vitamin A kapsul biru (dosis
100.000 SI) pada bulan Februari dan Agustus
(Depkes, 2009).
kesimpulan
Pemberian Vitamin A warna biru sejak umur 6
bulan dapat mencegah terjadinya underweight pada
balita. Balita yang diberi Vitamin A warna biru
sejak umur 6 bulan memiliki peluang 37% lebih
rendah untuk terhindar dari underweight dibanding
balita yang tidak diberi Vitamin A warna biru.
Untuk mencegah terjadinya underweight pada
balita diperlukan upaya untuk mempertahankan
dan meningkatkan cakupan pemberian Vitamin A
utamanya pada saat pemberian Vitamin A serentak
pada bulan Februari dan Agustus.
Daftar Pustaka
Almatsier S, Soetardjo S, & Soekatri M. (2011).
Gizi seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta,
Indonesia: Gramedia Pustaka Utama
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009).
Panduan manajemen suplementasi Vitamin A.
Jakarta, Indonesia: Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI
Notoatmodjo S. (2003). Prinsip-prinsip dasar
ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta, Indonesia:
Rineka Cipta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006).
Pedoman umum pengelolaan posyandu. Jakarta,
Indonesia: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Yanti, K.D. (2015). Faktor – faktor yang
berhubungan dengan status gizi buruk pada
balita di Desa Kute Kecamatan Pujut Kabupaten
Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat .
Diakses dari http://ejournalnwu.ac.id/article/
view/1443664651
Murage, E.W., Crispin, N., Katherine R., & Peninah,
M. (2012). Vitamin A supplementation and
stunting levels among two year olds in Kenya:
Evidence from the 2008-09 Kenya demographic
and health survey. International Journal of
Child Health and Nutrition, 1, 135-147
Dyah, K., Hastin, & Ina, K. (2010). Status gizi dan
status iodium pada balita dengan suspect down
syndrom. Media Gizi mikto Indonesia, 1(20), 46-
53. Diakses dari http://ejournal.litbang.depkes.
go.id/index.php/mgmi/article/view/1171/718
Tidak ada komentar:
Posting Komentar