PREVALENSI STUNTING
Penurunan
prevalensi balita pendek menjadi salah satu program prioritas dalam pembangunan kesehatan yang tercantum di dalam
sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015-2019.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Berdasarkan
hasil PSG 2016 pada balita usia 0-23 bulan, prevalensi stunting di Indonesia
yaitu sebesar 21,7% (7,1 % sangat pendek, dan 14,6 % pendek). Sedangkan pada
tahun 2017 prevalensi stunting di Indonesia 20,1%, (6,9 % sangat pendek, dan
13,2 % pendek) (Kemenkes RI, 2017). Meskipun telah mencapai target penurunan
prevalensi stunting pada baduta sesuai RPJMN tahun 2019 (28 %), angka tersebut
masih belum memenuhi target penurunan prevalensi stunting yang dicanangkan oleh
WHO yakni sebesar 20% (Kemenkes RI, 2018).
Balita
pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau
tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah
normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang
atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya
kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang
dari -3SD (WHO, 2010).
Kenali Tanda dan Gejala Stunting pada anak
Menurut
Kementrian Kesehatan RI (2016) ciri-ciri anak mengalami stunting yaitu :
1) Performa buruk pada tes perhatian dan memori
belajar.
2) Pertumbuhan gigi terlambat.
3) Wajah tampak lebih muda dari usianya.
4) Perumbuhan melambat.
5) Tanda pubertas melambat.
6) Pada usia 8-10 tahun anak menjadi pendiam,
tidak banyak melakukan eye contact.
Apa
Saja Faktor-faktor Resiko Stunting ?
Status Gizi Ibu Hamil
Status Gizi Ibu Hamil
Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan
dan perkembangan janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan
berat lahir rendah. Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu
hamil dapat menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK).
BBLR dan Panjang Lahir
Bayi dengan berat lahir rendah juga mengalami gangguan
saluran pencernaan, karena saluran pencernaan belum berfungsi, seperti tidak
dapat menyerap lemak dan mencerna protein sehingga mengakibatkan kurangnya
cadangan zat gizi dalam tubuh, akibatnya pertumbuhan bayi BBLR akan terganggu, bila
keadaan ini berlanjut dengan pemberian makanan yang tidak mencukupi sering
mengalami infeksi dan akibatnya mengakibatkan stunting. Panjang lahir bayi juga berhubungan dengan kejadian
stunting. Penelitian di Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang lahir yang
pendek berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada balita.
Asi Ekslusif Pada Bayi
Asi Ekslusif Pada Bayi
Pada bayi, ASI sangat berperan dalam pemenuhan
nutrisinya. Konsumsi ASI juga meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga
menurunkan risiko penyakit infeksi. Sampai usia 6 bulan, bayi direkomendasikan
hanya mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Penelitian di
Ethiopia Selatan membuktikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
selama 6 bulan berisiko tinggi mengalami stunting.
Pola Asuh
Pola Asuh
Pola asuh merupakan interaksi antara orang tua dan
anak yang terdiri atas praktik merawat dan praktik memberikan makanan pada
anak. Kewajiban orang tua adalah menjamin hak anak untuk mendapatkan makanan
yang berkualitas dan dibarengi dengan pola asuh yang baik, agar anak tumbuh dan
berkembang secara baik. Pola asuh mempengaruhi status gizi karena pertumbuhan
dan anak membutuhkan asupan nutrisi maka akan membuat anak bertumbuh dan
berkembang lebih baik.
Pengetahuan ibu tentang gizi
Tingkat pengetahuan gizi ibu memengaruhi sikap dan
perilaku dalam memilih bahan makanan, yang lebih lanjut akan memengaruhi
keadaan gizi keluarganya. Ketidaktahuan mengenai informasi tentang gizi dapat
menyebabkan kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan keluarga khususnya makanan
yang dikonsumsi balita. Salah satu penyebab gangguan gizi adalah kurangnya
pengetahuan gizi dan kemampuan seseorang menerapkan informasi tentang gizi
dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak
Buruk Stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh
stunting antara lain sebagai berikut :
1) Jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh
2) Dalam jangka panjang akibat buruk yang
dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
Bagaimana Cara Pencegahan Stunting ?
1) Pada
Ibu Hamil
- Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
- Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan.
- Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
2) Pada Saat Bayi Lahir
3) Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
4) Posyandu
5) Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Cara Penanganan Stunting ?
Adapun
cara penanganan stunting adalah dengan melaksanakan Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi Kementrian Kesehatan RI , yaitu setelah balita terdeteksi mengalami masalah gizi, dan gangguan
perkembangan, segera bawa anak untuk diperiksakan ke fasilitas pelayanan
kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit) untuk penanganan lebih lanjut seperti
Konseling, PMT Pemulihan, dan Stimulasi Perkembangan Anak. Jika anak sudah
teridentifikasi mengalami masalah stunting adalah sebisa mungkin mengurangi
resiko anak mengalami sakit yaitu dengan melakukan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) untuk mengindari infeksi penyakit, melengkapi imunisasi dasar anak
dan vitamin A, dan tetap memberikan asupan gizi yang sesuai dengan usia anak,
serta langsung memeriksakan anak ke fasilitas pelayanan kesehatan jika anak
mengalami sakit.
Program dan Kebijakan Perbaikan Status Gizi Balita
Pemerintah
telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Penanganan Stunting pada bulan Agustus
2017, yang menekankan pada kegiatan konvergensi di tingkat Nasional, Daerah dan
Desa, untuk memprioritaskan kegiatan intervensi Gizi Spesifik dan Gizi Sensitif
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan hingga sampai dengan usia 6 tahun. Kegiatan
ini diprioritaskan pada 100 kabupaten/kota di tahun 2018. Kebijakan ini
didukung melalui :
a) Peraturan
Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi,
b) Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Sehat,
c) Peraturan
Presiden No. 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi.
Intervensi Gizi Spesifik
Intervensi gizi spesifik merupakan
intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)
dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi
gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.
Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil
1) Memberikan
makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis.
2) Mengatasi
kekurangan zat besi dan asam folat.
3) Mengatasi
kekurangan iodium.
4)
Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.
5)
Melindungi ibu hamil dari Malaria.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan
1) Mendorong
inisiasi menyusui dini (pemberian ASI jolong/colostrum).
2) Mendorong
pemberian ASI Eksklusif.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan
1) Mendorong
penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI.
2)
Menyediakan obat cacing.
3)
Menyediakan suplementasi zink.
4)
Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
5)
Memberikan perlindungan terhadap malaria.
6)
Memberikan imunisasi lengkap.
7) Melakukan
pencegahan dan pengobatan diare.
Intervensi Gizi Sensitif
Idealnya
dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sector kesehatan dan
berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi
spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita
pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
1) Menyediakan
dan Memastikan Akses pada Air Bersih.
2) Menyediakan
dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
3) Melakukan
Fortifikasi Bahan Pangan.
4) Menyediakan
Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
5) Menyediakan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6) Memberikan
Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini
Universal.
7) Memberikan
Pendidikan Gizi Masyarakat.
8) Memberikan
Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.
9) Menyediakan
Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
10) Meningkatkan Ketahanan Pangan dan
Gizi.
Agar lebih memahami stunting,yuk simak
video berikut ini.
Referensi
Fikadu, T., Assegid, S. & Dube, L.
(2014). Factor associated with stunting among children age 24 to 59 months in
Meskan District, Gurage Zone, South Ethiopia: A case-control study. BMC Public
Health, 14(800).
Kemenkes RI. (2016). InfoDATIN Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI : Situasi Balita Pendek. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2017). Buku Saku Pemantauan
Status Gizi Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2018). Kerjasama Multi
Sektor Untuk Menurunkan Stunting dan Eliminasi TB. Retrieved from
http:www.depkes.go.id/article/view/18112300002/kerjasama-multisektor-untuk-menurunkan-stunting-dan-eliminasi-tb.html
Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal.
(2017). Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Kementrian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal.
Ni’mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2015).
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA. Media Gizi
Indonesia, 10(1), 13–19.
Paudel, R., Pradhan, B., Wagle, R. R.,
Pahari, D. P. (2012). Risk factors for stunting among children: A community
based case control study in Nepal. Khathmandu University Medical Journal,
10(3).
WHO. (2010). Nutrition landscape
information system (NLIS) country profile indicators: Interpretation guide.
Geneva: World Health Organization.
WHO. (2014). WHO global nutrition targets
2025: Stunting policy brief. Geneva: World Health Organization.
Terimakasih kak sudah membantu tugas saya😊😊🙏🙏
BalasHapusTerimakasih kak atas informasinya😊
BalasHapusTrimakasih infonya kak😊
BalasHapusMantap, sangat mendidik dan memberi wawasan👍
BalasHapusNice information 👍👍
BalasHapusMakasih atas informasinya sangat bermanfaat 🙂
BalasHapusThx infonya kaa
BalasHapusbagus, makasih buat infonya tentang stunting, sangat bermafaat dan menambah pengetahuan tentang stunting ini.
BalasHapusMakasih kaka atas infonya bermanfaat bagi kami..����
BalasHapusTerimakasih atas informasi nya semoga apa yg di sampaikan oleh penulis dapat bermanfaat bagi orang banyak 😍
BalasHapusKommennt, subscribe, and like
BalasHapusTulisan yang sangat bermanfaat, semoga semua juga bisa mengikuti dan mempelajari
BalasHapus