Osteoporosis
sampai saat ini, masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang. Menurut hasil data oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14
provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai
tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Osteoporosis adalah kondisi di mana
tulang menjadi tipis, rapuh, keropos, dan mudah patah akibat berkurangnya massa
tulang yang terjadi dalam waktu yang lama. Kurangnya aktivitas fisik di masa
muda akan berdampak pada penurunan kepadatan tulang di masa lanjut usia (Hoger
dan Hoeger, 2005). Karena aktivitas fisik merupakan hal penting dalam proses
osteoblas (pembentukan tulang) dan kepadatan massa tulang, selain itu juga harus
diimbangi dengan mencukupi kebutuhan nutrisi. Oleh karena itu, aktivitas fisik dan asupan kalsium yang memadai dapat mengoptimalkan nilai kepadatan tulang.
Secara
statistik, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan di mana BMD (Bone Mineral
Density) berada di bawah nilai rujukan menurut umur atau standar deviasi
(Depkes RI, 2002).
World
Health Organization (WHO) menentukan kriteria tentang berat ringannya keropos
tulang yang sudah diterima oleh seluruh dunia yaitu:
• Bila T-score < -2,5
digolongkan sebagai osteoporosis.
• Nilai T-score di bawah
-1,0 dinamakan osteopenia atau massa tulang yang rendah.
• Nilai T-score di antara
-1 sampai +1 tergolong BMD (Bone Mineral
Density) normal (Tandra, 2009).
Faktor Risiko Osteoporosis
Faktor
risiko osteoporosis bersifat multifaktorial atau banyak factor, dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Faktor yang dapat
dicegah: indeks massa tubuh, konsumsi steroid, konsumsi kafein, kerutinan
olahraga, paritas, menyusui, merokok, kurang konsumsi kalsium dan vitamin D,
serta konsumsi alkohol.
2. Faktor yang tidak
dapat dicegah: jenis kelamin, usia, ras, riwayat keluarga, tipe tubuh dan
menopause.
Semua faktor baik yang
dapat dicegah dan tidak dapat dicegah memengaruhi kepadatan massa tulang di
mana hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya gejala dan terjadinya
osteoporosis.
Gejala Pada Oteoporosis
Gejala
yang timbul pada tahap lanjut yaitu seperti patah tulang, punggung yang semakin
membungkuk, hilangnya tinggi badan, atau nyeri punggung. Berkurangnya kepadatan
tulang yang akan mengakibatkan tulang mudah hancur, sehingga akan timbul nyeri
tulang dan kelainan bentuk tulang. Dan hancurnya tulang belakang menyebabkan
nyeri punggung menahun (Depkes, 2004).
Upaya Pencegahan Osteoporosis
Pencegahan
osteoporosis dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1. PencegahanPrimer
Pencegahan
primer merupakan upaya terbaik serta dirasa paling murah dan mudah. Yang
termasuk ke dalam pencegahan primer adalah:
a. Konsumsi Kalsium
Angka Kecukupan Gizi
Kalsium Rata-rata yang Dianjurkan (per orang per hari) 2004.
Anak
|
Umur
|
Kalsium
(mg)
|
0-6
bulan
|
200
|
|
7-12
bulan
|
400
|
|
1-3
tahun
|
500
|
|
4-6
tahun
|
500
|
|
7-9
tahun
|
600
|
|
Pria
dan Wanita
|
10-12
tahun
|
1000
|
13-15
tahun
|
1000
|
|
16-18
tahun
|
1000
|
|
19-29
tahun
|
800
|
|
30-49
tahun
|
800
|
|
50-64
tahun
|
800
|
|
65+
tahun
|
800
|
Sumber :
Nasoetion et al. 2009.
Dari
tabel di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan kalsium setiap orang berbeda
tergantung dari usia.
Jenis
makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran hijau, jeruk sitrun, dan yang
mengandung sumber kalsium paling tinggi terdapat pada kerang (Koral AUP/STP
Papua 2008)
b. Latihan Fisik
(Exercise)
Latihan
fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada anggota tubuh/ gerak dan penekanan
pada aksis tulang seperti jalan, joging, aerobik atau jalan naik turun bukit.
Hindari
faktor yang dapat menurunkan absorpsi kalsium, meningkatkan resorpsi tulang,
atau mengganggu pembentukan tulang, seperti merokok, minum alkohol dan
mengkonsumsi obat yang berkaitan dengan terjadinya osteoporosis.
2. PencegahanSekunder
a. Konsumsi Kalsium
Tambahan
Konsumsi
kalsium dilanjutkan pada periode menopause, 1200-1500 mg per hari, untuk
mencegah negative calcium balance. Pemberian kalsium tanpa penambahan estrogen,
dikatakan kurang efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada awal
periode menopause. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kalsium bersama
dengan estrogen dapat menurunkan dosis estrogen yang diperlukan sampai dengan
50%.
b. Estrogen Replacement Therapy
(ERT)
Semua
perempuan pada saat menopause mempunyai resiko osteoporosis, karena itu dianjurkan
pemakaian ERT pada mereka yang tidak ada kontraindikasi. ERT menurunkan resiko
fraktur sampai dengan 50% pada panggul, tulang radius dan vertebra.
c. Latihan fisik
(Exercise)
Perlu
diperhatikan berat ringannya osteoporosis yang terjadi, karena berhubungan dengan dosis dan cara gerakan
yang bersifat spesifik. Tidak dapat dilakukan secara masal karena perlu
mendapat supervisi dari tenaga medis/paramedis terlatih individu per individu.
d. Pemberian Kalsitonin
Kalsitonin
bekerja menghambat resorpsi tulang dan dapat meningkatkan massa tulang apabila
digunakan selama 2 tahun. Nyeri tulang juga akan berkurang karena adanya efek
peningkatan stimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin diindikasikan bagi pasien
yang tidak dapat menggunakan ERT, pasien pasca menopause lebih dari 15 tahun,
pasien dengan nyeri akibat fraktur osteoporosis, dan bagi pasien yang mendapat terapi
kortikos teroid dalam waktu lama.
e. Terapi
Terapi
yang diberikan adalah vitamin D dan tiazid, tergantung kepada kebutuhan pasien.
Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan kalsium. 25 hidroksivitamin
D dianjurkan diminum setiap hari bagi pasien yang menggunakan suplemen kalsium.
3. PencegahanTersier
Setelah
pasien mengalami fraktur osteoporosis, pasien jangan dibiarkan imobilisasi terlalu
lama. Sejak awal perawatan disusun rencana mobilisasi mulai dari mobilisasi
pasif sampai dengan aktif dan berfungsi mandiri. Beberapa obat yang mempunyai
manfaat adalah bisfosfonat, kalsitonin, dan NSAID bila ada nyeri. Dari sudut rehabilitasi
medik, pemakaian ortose spinal/ korset dan program fisioterapi/okupasi terapi akan
mengembalikan kemandirian pasien secara optimal.
Referensi
Rahayu, S. Y. S. (2012). Kijing Taiwan (Anodonta woodiana)
sebagai Sumber Kalsium Tinggi dalam Upaya Mencegah Osteoporosis. FITOFARMAKA: Jurnal Ilmiah
Farmasi, 2(1), 27-35.
Ramadani, M. (2010). Faktor-faktor Resiko Osteoporosis dan
Upaya Pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 4(2), 111-115.
Listianingrum, A. (2018). Osteoporosis, Rasio Kalsium dan
Rasio Asupan Kalsium Dan Asupan Fosfor Serta Aktivitas Fisik Terkait Nilai Bone Mass Density (BMD) Pada Lansia Osteoporosis. Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia (JIKI), 4(2), 150-157.
Limbong, E. A., & Syahrul, F. (2015). Risk ratio of
osteoporosis according to body mass index, parity, and caffein consumption. Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(2), 194-204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar